Penulis : Bachtiar
Barangkali sebagian besar generasi milenial di zaman now banyak yang tidak tau apa itu ancak. Ancak adalah sesaji atau sesajen yang berisikan kembang tujuh rupa, kemenyan dan makanan yang dialasi dengan daun pisang, dan biasanya sesaji ini juga terdapat ayam bakar alias bekakak.
Dahulu disebuah perkampungan Bekasi, sebut saja Kampung Kranggan tepatnya di kelurahan Jatirangga Kota Bekasi. Para penghuni dusun di kampung ini terbiasa membuat ancak kemudian di gantungkannya disebuah pohon besar nan rindang. Bahkan, ada juga yang digantungkan pada pohon bambu.
Tujuannya adalah, sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati para leluhur karena sebelum ancak di gantung di pohon, terlebih dahulu dilakukan ritual doa doa oleh sesepuh kampung, setelah itu baru kemudian ancak di gantung di pohon.
Soal ancak ini ada satu cerita menarik yang dialami sendiri oleh penulis. Jujur, dahulu saat masih remaja dan penulis masih duduk dibangku SMP kelas 2 pernah usil pada ancak.
Tepatnya malam hari, saat itu penulis pulang nonton layar tancap dari kampung sebelah melewati sebuah pohon besar yang terdapat gantungan ancak. Karena rasa penasaran lalu penulis mendekati ancak itu dan melihat ada berbagai makanan yang masih layak dimakan termasuk bekakak ayamnya yang lezat.
Karena perut keroncongan alias lapar, penulis memberanikan diri mengambil potongan dodol di ancak tersebut dan memakannya. Terasa enak, kemudian ayam bekakak pun tak luput dari sergapan tangan penulis, dan hup, sekejap masuk mulut tersisa hanya tulangnya saja.
Jujur, perbuatan penulis ini menjadi kebiasaan yang tidak diketahui orang bahkan sampai sekarang pun barangkali belum ada orang tau di kampung itu jika penulis dulu pernah memakan ancak ancak yang mereka gantungkan di pohon.
Pada suatu saat, ada seorang Ibu dari teman penulis yang sakit parah di kampung itu, bahkan sakitnya boleh dibilang aneh karena konon katanya kerasukan alias kesurupan mahluk lelembut.
Tiba gilirannya, saat itu penulis sepulang sekolah berkunjung ke rumah orang yang sedang sakit tersebut. Sesampai di rumah itu penulis melihat ada sesepuh kampung yang sedang mengobatinya. Tampak si Ibu itu sedang meracau tak jelas apa yang dikatakannya. Sementara sang sesepuh kampung khusyuk membaca doa doa disamping si Ibu yang sedang sakit.
Tiba-tiba, si Ibu orangtua teman penulis itu berteriak saat menoleh kearah penulis sambil berkata, “Heii..siak (kamu/Luh-red) yang suka makanin ancak aing (gue-red),” cetus si Ibu membentak penulis.
Sontak semua orang terkejut sambil menatap kearah penulis. Merasa tak enak hati saat itu juga penulis berlagak tak tau apa maksud ucapan si Ibu yang sedang sakit itu.
Penulis mencoba mendekati si Ibu seraya menenangkannya, tapi lagi lagi si Ibu ini menjerit sambil berkata, “Aing sieun ka ieu jalma nu sok ngadaharan ancak aing, ampuun aing rek kaluar wae,” artinya, “Gue takut sama ini orang yang suka makan ancak gue, ampun gue mau keluar aja,” ucapnya sambil berteriak kemudian pingsan dan sadar dari kerasukannya.
Percaya tidak percaya, Ibu itu menjadi waras dan pancaran aura wajahnya terlihat segar, berbeda saat Ia sedang kerasukan tadi.
Karena merasa tak enak hati dengan orang pintar yang sedang mengobatinya, cepat cepat penulis pamitan dan pergi dari rumah itu.
Dalam perjalanan pulang, dalam hati penulis merasa was was juga, ada rasa ngeri, kok mahluk lelembut yang merasuk ke tubuh Ibu itu tau kalau penulis suka makan ancak di pohon. “Tapi, ah tadikan saya dengar sendiri mahluk itu bilang takut sama saya karena suka makan ancak,” sebut penulis dalam hati seraya menenangkan diri sendiri.*